~ kubiarkan saja dia abadi pada goresan phrasa karena Tuhanku tau dimana tempat terbaik mengucap satu kalimat tanpa jeda napas, lalu disaksikan oleh doa berkah yang mendengarnya ~
Annisa dalam buku tua |
Pernah selaksa bayang dengan rona pipi raflesia menyentuh sekitaran pandangku. Lalu kuartikan ada sosok lekat pada angan akan kutemui di masa depanku, ciptaan Sang Pewarna titik air menjadi pelangi. Jauh dini hari kupersiapkan satu kata tepat untuk menyapanya pertama kali. Tapi ada ragu menggelitik geli, akankah ada jawab sesingkat hirupan kopi yang pernah kudengar atau hanya selaksa senyum misterius layaknya monalisa pada lukisan da vinci. Aku tak tau memulai dan pun tentangmu, tapi bolehkah kupanngil kau “Annisa”? tanyaku pada cermin lalu membayang kau adalah dia.
Annisa, nama kukutil dari judul buku yang hampir lapuk di jejeran rak perpustakaan tua di kotaku. Tak ada jejak jari disana, tanpa daftar peminjam, mungkin akulah peminjam pertama saat itu. Dia, sosok Annisa yang tergambar persis dengan mata khas bagian terbarat tanah airku, 5 centimeter diatas rerata tinggiku, dan senyum rekah gurih yang tak pernah redup sekedippun. Beranikan dirimu atau kau menyesal seumur sendumu, ujar para kuracaci kecil di sekitar tempat lamunanku.
Entahlah, kubiarkan saja dia abadi pada goresan phrasa pada buku yang hampir lapuk di jejeran rak perpustakaan tua di kotaku, karena Tuhan tau dimana tempat terbaikku mengucap satu kalimat tanpa jeda napas, lalu disaksikan oleh doa berkah yang mendengarnya.
@bung_ilham
1 komentar:
Luar biasaaaa....
Posting Komentar